Reaktualisasi Hirarki
Peraturan Perundang-undangan
Gagasan demokrasi dalam struktur
ketatanegaraan suatu Negara hokum pada prinsipnya merupakan suatu agenda
politik untuk mewujudkan sistem hukum yang supreme
dan estabilished pada Negara tersebut
yang teraktualisasi dalam teks dan semangat konstitusi. Gagasan kelsen pada
umumnya menjadi mainstream pada
Negara-negara yang sedang berada pada periode transisi politik tertentu dalam
bentuk transformasi politik dari Negara totalitas atau otoriterianis politik
dari Negara.
Sejak lahirnya Negara Republik
Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya undang-undang
Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuklah pula system norma hokum
Negara, apabila kita bandingkan dengan teori jenjang (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang dari Hans
Nawiasky (dietheorie vom stufentordnung
der Rechtsnormen), kita dapat melihat adanya cerminan dari kedua system
norma tersebut dalam system norma hokum Negara Republik Indonesia. Dalam system
Negara republic Indonesia, norma-norma hokum yang berlaku berada dalam suatu
system yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus
berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada
norma dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila sebagai modus Vivendi.
Pasca reformasi 1998 dan diiringi
dengan amandemen konstitusi, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak lagi menjadi lembaga Negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan
(legislative) kedudukannya sejajar dengan lembga Negara tinggi lainnya. MPR
sejajar dengan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, BPK, bahkan
sejajar dengan KY sebagai Lembaga Negara.
Itulah salah satu perubahan mendasar
dari struktur ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap
format ketatanegaraan adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dimana ketetapan MPR kembali menjadi bagian dari hirarki perundang-undangan karena
jenisnya yang tidak bersifat mengatur. Hirarki atau tata urutan
perundang-undangan berdasarkan undang-undang No.12 Tahun 20011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 7 ayat 1, yaitu : Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), TAP MPR, Undang-undang
(UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu), Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda).
Dalam tata tertib dan tata urutan
peraturan perundang-undangan RI, perlu dikaji ulang tentang tata urutan
peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya Undang-undang No.12 Tahun
2011 khususnya pasal 7 ayat 1 yang masih banyak terjadi controversial, bahkan
perlu kiranya untuk kembali diaktualisasikan, agar lahirnya suatu hirarki
perundang-undangan yang tidak salah kaprah.
Laica Marzuki mengatakan bahwaw
dibangunnya tatanan kaidah peraturan perundang-undangan dalam wujud pyramid,
berjenjang, lazim disebut stufenbau des
recht. Peraturan perundang-undangan ditatanya secara berjenjang, berlapis
dan bersusun bak pyramid, absahnya suatu kaidah hokum dtentukan sejauhmana
kaidah peraturan perundang-undangan yang berada dibawah tidak bertentangan
dengan kaidah peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Kaidah peraturan
perundang-undangan yang berada diatas mendasari kaidah peraturan
perundang-undangan yang berada dibawah dan seterusnya.
Adalah menarik bahwa puncak dari
stufenbau ditempatkan kelsen sebagai suatu norma dasar yang namanya grundnorm
atau basic norm. menurut kelsen, grundnorm pada umumnya adalah meta-juridisch,
bukan produk (buatan)badan pembuat undang-undang (wet giving). Dikatakan, the basic norm is not created in a legal
procedure by a law-creating organ, it is not-as a positive legal norm is-valid
because it is pre supposed to be valid; and it is presupposed to be valid
because without this presupposition no human act could be interpreted as a
legal, especially as a norm.
Grundnorm dapat lahir karena suatu
klimaks peristiwa revolusi, keberhasilan coup
d’etat, seraya menumbangkan sendi-sendi tatanan tertib lama. Proklamasi 17
Agustus 1945 merupakan grundnorm yang menegasi dalam makna Umwerting aller Werte-sendi-sendi tatanan tertib hokum lama atas
dasar (keberlakuan) De Staatsinrichting
van Nederlandsch Indie beserta aturan-aturan bala tentara Dai Nippon di
kala itu seraya melahirkan tatanan baru, revolutie grondwet : UUD NRI Tahun
1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam
rapat besar PPKI, Ir. Soekarno menamakan UUD 1945 adalah de revolutie grondwet lahir dari revolutie recht. Tatanan hokum revolusi lahir dan berpuncak pada proklamasi
17 Agustus 1945. Tanpa grundnorm
tidak akan ada de revolutie grondwet.
Selain itu penempatan UUD NRI Tahun
1945 dalam kelompok peraturan perundang-undangan semakin bertentangan dengan UU
No.12 Tahun 2011 sendiri pasal 3 ayat 1 yang mengatakan bahwa UUD NRI Tahun
1945 merupakan hokum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Bagaimana
kemudian sesuatu yang dikatakan hokum dasar dan sumber dari peraturan peraturan
perundang-undangan, termasuk juga dalam kategori peraturan perundang-undangan.