Minggu, 16 Desember 2012


Reaktualisasi Hirarki Peraturan Perundang-undangan

Gagasan demokrasi dalam struktur ketatanegaraan suatu Negara hokum pada prinsipnya merupakan suatu agenda politik untuk mewujudkan sistem hukum yang supreme dan estabilished pada Negara tersebut yang teraktualisasi dalam teks dan semangat konstitusi. Gagasan kelsen pada umumnya menjadi mainstream pada Negara-negara yang sedang berada pada periode transisi politik tertentu dalam bentuk transformasi politik dari Negara totalitas atau otoriterianis politik dari Negara.
Sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuklah pula system norma hokum Negara, apabila kita bandingkan dengan teori jenjang (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang dari Hans Nawiasky (dietheorie vom stufentordnung der Rechtsnormen), kita dapat melihat adanya cerminan dari kedua system norma tersebut dalam system norma hokum Negara Republik Indonesia. Dalam system Negara republic Indonesia, norma-norma hokum yang berlaku berada dalam suatu system yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada norma dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila sebagai modus Vivendi.
Pasca reformasi 1998 dan diiringi dengan amandemen konstitusi, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga Negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan (legislative) kedudukannya sejajar dengan lembga Negara tinggi lainnya. MPR sejajar dengan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, BPK, bahkan sejajar dengan KY sebagai Lembaga Negara.
Itulah salah satu perubahan mendasar dari struktur ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format ketatanegaraan adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Dimana ketetapan MPR kembali menjadi bagian dari hirarki perundang-undangan karena jenisnya yang tidak bersifat mengatur. Hirarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan undang-undang No.12 Tahun 20011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pasal 7 ayat 1, yaitu : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), TAP MPR, Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda).
Dalam tata tertib dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI, perlu dikaji ulang tentang tata urutan peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya Undang-undang No.12 Tahun 2011 khususnya pasal 7 ayat 1 yang masih banyak terjadi controversial, bahkan perlu kiranya untuk kembali diaktualisasikan, agar lahirnya suatu hirarki perundang-undangan yang tidak salah kaprah.
Laica Marzuki mengatakan bahwaw dibangunnya tatanan kaidah peraturan perundang-undangan dalam wujud pyramid, berjenjang, lazim disebut stufenbau des recht. Peraturan perundang-undangan ditatanya secara berjenjang, berlapis dan bersusun bak pyramid, absahnya suatu kaidah hokum dtentukan sejauhmana kaidah peraturan perundang-undangan yang berada dibawah tidak bertentangan dengan kaidah peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Kaidah peraturan perundang-undangan yang berada diatas mendasari kaidah peraturan perundang-undangan yang berada dibawah dan seterusnya.
Adalah menarik bahwa puncak dari stufenbau ditempatkan kelsen sebagai suatu norma dasar yang namanya grundnorm atau basic norm. menurut kelsen, grundnorm pada umumnya adalah meta-juridisch, bukan produk (buatan)badan pembuat undang-undang (wet giving). Dikatakan, the basic norm is not created in a legal procedure by a law-creating organ, it is not-as a positive legal norm is-valid because it is pre supposed to be valid; and it is presupposed to be valid because without this presupposition no human act could be interpreted as a legal, especially as a norm.
Grundnorm dapat lahir karena suatu klimaks peristiwa revolusi, keberhasilan coup d’etat, seraya menumbangkan sendi-sendi tatanan tertib lama. Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan grundnorm yang menegasi dalam makna Umwerting aller Werte-sendi-sendi tatanan tertib hokum lama atas dasar (keberlakuan) De Staatsinrichting van Nederlandsch Indie beserta aturan-aturan bala tentara Dai Nippon di kala itu seraya melahirkan tatanan baru, revolutie grondwet : UUD NRI Tahun 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapat besar PPKI, Ir. Soekarno menamakan UUD 1945 adalah de revolutie grondwet lahir dari revolutie recht. Tatanan hokum revolusi lahir dan berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945. Tanpa grundnorm tidak akan ada de revolutie grondwet.
Selain itu penempatan UUD NRI Tahun 1945 dalam kelompok peraturan perundang-undangan semakin bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2011 sendiri pasal 3 ayat 1 yang mengatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan hokum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Bagaimana kemudian sesuatu yang dikatakan hokum dasar dan sumber dari peraturan peraturan perundang-undangan, termasuk juga dalam kategori peraturan perundang-undangan.